Penderitaan warga datang bertubi tubi dengan kenaikan bahan pokok

Tergerak  oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan harga sejumlah barang, seperti kebutuhan pokok, harga BBM, tarif pajak, dan tarif lainnya, berbagai kalangan mengeluhkan.
Kenaikan harga tersebut dinilai netral dan mendengarkan suara masyarakat menengah ke bawah di masa sulit akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir.

Hingga Jumat (1/4), pemerintah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 11 persen tidak dimaksudkan untuk meresahkan masyarakat. Menurut dia, kenaikan pajak justru akan kembali ke masyarakat.

Akibat kenaikan PPN, sejumlah barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari otomatis menjadi lebih mahal. Beberapa contoh barang yang dikenakan PPN antara lain pakaian, tas, sepatu, pulsa telekomunikasi, sabun, peralatan elektronik, barang mobil, peralatan, dan kosmetik.

Pada hari yang sama, pemerintah juga menaikkan harga Bahan Bakar Minyak Pertamax dari Rs 9.000 – Rs 9.400 menjadi Rp 12.500 – Rp 13.000 per liter. Kenaikan tersebut diklaim memperhitungkan melonjaknya harga minyak mentah di pasar dunia.

 

CNN Indonesia/Taufik Hidayatullah)

Selain itu, pemerintah juga menaikkan tarif di beberapa jalur transit di Pulau Jawa. Kenaikan tercatat bervariasi, mulai dari Rp 500 hingga ke atas Rp 4.000.

Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kembali mengisyaratkan akan menaikkan harga BBM pertalite dan elpiji 3 kg. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Erlanga Hartarto mengatakan pemerintah sedang melakukan kajian karena harga minyak mentah dunia terus meningkat belakangan ini.

“Saat ini kami masih mempelajari. Nanti setelah kajian, kami akan umumkan,” kata Erlanga dalam konferensi pers, Selasa (5/4).

Berbicara dengan sejumlah orang dari kelas menengah ke bawah tentang situasi saat ini.

Rufiquh (54), pemilik warung makan di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, mengecam keras langkah pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai dan berbagai kebutuhan pokok lainnya.

Menurut dia, sepertinya kenaikan tarif dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa memperhitungkan kemampuan masyarakat kelas bawah seperti dirinya. Meski tidak terlalu tinggi, bagi orang-orang seperti kedua sahabatnya itu, kenaikan tersebut masih akan “membebani” pendapatannya yang sedikit.

 

Apalagi, dia juga mengaku tidak setuju dengan rencana pemerintah menaikkan harga pertalite dan elpiji 3 kg. Rafhah meyakini kenaikan harga kedua komoditas tersebut tentu akan berdampak pada komoditas pokok lainnya.

Apalagi sekarang kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Sehingga harga bahan pokok diperkirakan bisa naik menjelang Idul Fitri.

Dia mengatakan “harganya dinaikkan, dan barangnya tidak tersedia di pasar. Apa yang bisa kita lakukan jika itu masalahnya. Jangan naikkan jika bisa.”

Apalagi, menurut dia, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diharapkan mampu mengatasi masalah harga mahal, masih banyak kekurangan dan permasalahan di daerah ini. Dia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan harga tersebut.

“Jelas saya tidak setuju dengan kenaikan harga. Kalau BBM naik pasti menyebar ke mana-mana,” katanya.

Secara terpisah, Santi, 43, mengkritik langkah pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai dan sejumlah harga komoditas. Ibu rumah tangga itu menilai kebijakan ini tidak tepat ketika masyarakat berusaha untuk pulih dari pandemi Covid-19.

Bukannya membantu perekonomian atau menguntungkan masyarakat seperti klaim Sri Mulyani, masih menurut Santi, kenaikan tersebut justru akan membebani masyarakat menengah ke bawah.

“Pasti jadi beban, jadi katanya sekarang sudah mulai normal dan tidak bisa diatasi seperti itu. Saat ini masih banyak masyarakat yang berjuang,” kata ibu rumah tangga itu.